dutacendikia.id, Lampung – 80 tahun silam, pada 22 Oktober 1945, gema takbir mengguncang langit Surabaya. Dari pesantren-pesantren di pelosok Jawa dan Madura, Hadratussyekh KH Hasyim Asyari dan para ulama Nahdlatul Ulama berkumpul di Pesantren Tebuireng Jombang dan menetapkan sebuah resolusi jihad.
Hal tersebut merupakan keputusan monumental yang menggerakkan santri dan umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Dokumen bertajuk Toentoetan Nahdlatoel Oelama kepada Pemerintah Repoeblik Soepaya mengambil tindakan jang sepadan, itu bukan sekadar teks historis, melainkan pernyataan iman dan tanggung jawab moral.
Isinya sederhana namun menggetarkan: mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan agama adalah kewajiban setiap Muslim. Resolusi itu mengikat antara nasionalisme dan keimanan, antara cinta tanah air dan cinta Tuhan.
Kini, 8 dekade kemudian, bangsa ini telah merdeka. Namun, apakah semangat jihad santri berhenti ketika musuh berseragam pergi dari bumi pertiwi? Ataukah jihad itu harus terus bertransformasi sesuai zaman? Pertanyaan inilah yang menjadi panggilan moral bagi santri hari ini.
Resolusi Jihad 1945 lahir dalam konteks ancaman militer.
Bangsa baru yang rapuh harus dipertahankan dengan darah dan doa. Para ulama tidak tinggal diam, mereka menafsirkan jihad bukan hanya sebagai perang fisik, tetapi juga pembelaan terhadap kehormatan agama dan negara. Santri menjadi barisan terdepan, bukan hanya dengan senjata bambu runcing, tetapi dengan keyakinan bahwa membela Indonesia adalah bagian dari iman. Namun konteks zaman telah berubah.
Tantangan santri abad ke-21 tidak lagi dalam bentuk kolonialisme bersenjata, melainkan penjajahan baru dalam wujud kemiskinan, kebodohan, disinformasi, intoleransi, dan krisis moral. Dunia digital membawa banjir informasi, tapi tidak selalu dengan kebijaksanaan. Kemandirian bangsa diuji bukan hanya di medan perang, melainkan di ruang publik, ruang kelas, dan ruang digital. Maka, resolusi santri hari ini harus dimaknai sebagai tekad baru: Jihad Ilmu dan Inovasi, santri harus menempuh jalan ilmu sebagai bentuk jihad yang paling tinggi. Bukan sekadar menguasai kitab kuning, tapi juga kitab teknologi, kitab ekonomi, dan kitab kebudayaan.
Pesantren harus menjadi center of excellence yang menyiapkan generasi berilmu dan berakhlak. Jihad Moral dan Kebangsaan, santri harus menjadi penjaga moral bangsa. Di tengah derasnya arus pragmatisme dan politik identitas, santri harus tegak sebagai pelita akhlak: menjaga kesantunan dalam berpendapat, kejujuran dalam berpolitik, dan kasih sayang dalam berdakwah. Jihad Ekonomi dan Kemandirian, santri tak boleh puas sebagai pengamat.
Kemandirian ekonomi adalah bagian dari kedaulatan bangsa. Santri perlu masuk ke dunia usaha, digitalpreneur, pertanian modern, hingga green economy dengan semangat khidmah untuk umat. Jihad Literasi dan Moderasi, dunia hari ini butuh santri yang mampu menulis, berpikir kritis, dan berkomunikasi dengan hikmah. Resolusi jihad masa kini adalah jihad melawan hoaks, kebencian, dan ekstremisme melalui pena dan pikiran yang sejuk.
Santri hari ini harus menulis sejarahnya sendiri — dengan pena, bukan dengan darah. Dengan data, bukan dengan fitnah. Dengan kerja, bukan dengan keluhan. Dari “roan” di halaman pesantren sampai karya di ruang digital, jihad santri adalah menjaga makna kemanusiaan dan marwah keilmuan. Hari Santri bukan sekadar peringatan historis, melainkan panggilan spiritual untuk meneruskan jihad para pendahulu.
Delapan puluh tahun lalu, santri dan ulama menegakkan kemerdekaan dengan darah dan fatwa. Hari ini, santri harus menegakkan keadaban dengan ilmu dan karya Jika generasi 1945 menulis resolusi jihad di atas kertas, maka generasi 2025 harus menulis resolusi roan di hati dan tindakan. Yakni, tekad untuk selalu bergotong royong membangun kembali apa pun yang roboh — baik bangunan pesantren, nilai kejujuran, maupun harapan bangsa.
Maka, resolusi santri hari ini adalah membangun peradaban dari puing-puing keikhlasan, memperbaiki narasi dengan pena kebenaran, dan mengembalikan makna pesantren sebagai pusat ilmu, moral, dan kemanusiaan. Dari reruntuhan Al-Khoziny hingga kehormatan Lirboyo, kita belajar bahwa bangunan bisa roboh, tapi nilai pesantren tak akan runtuh. Sebab selama masih ada santri yang berjiwa roan, bangsa ini akan selalu punya alasan untuk bangkit — dengan iman, dengan ilmu, dan dengan cinta. (oleh : H Puji Raharjo Soekarno–Ketua PWNU Lampung)


