Agama Literasi Opini
Beranda / Opini / Menapaki Jalan Ma‘rifah Melalui Cahaya Al-Hikam dan Spirit Pendidikan Madrasah

Menapaki Jalan Ma‘rifah Melalui Cahaya Al-Hikam dan Spirit Pendidikan Madrasah

Oleh: H. Ahmad Rifai, S.E., M.M.

dutacendikia.id, Lampung – Pengenalan terhadap Allah (ma‘rifah) merupakan puncak perjalanan spiritual manusia dan sekaligus dasar bagi seluruh bangunan moral dan intelektual Islam. Dalam tradisi tasawuf, pengenalan ini tidak lahir dari sekadar pengetahuan kognitif, melainkan dari penyaksian batin yang melibatkan kesadaran, kelemahan, dan cinta yang tulus. Sejalan dengan itu, Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari dalam al-Hikam menegaskan bahwa jalan menuju Tuhan dimulai dari kesadaran akan keterbatasandiri.

Hati manusia, sejak awal penciptaannya, membawa kegelisahan eksistensial: ia terus mencari makna yang tidakdapat dipenuhi oleh kenikmatan duniawi. Harta, jabatan, bahkan kasih antarsesama hanya memberi rasa sementara. Kegelisahan itu sendiri menjadi bukti bahwa hati manusia diciptakan bukan untuk dunia, melainkan untuk mengena lSang Pencipta. Dalam konteks ini, kerinduan untuk mengenal Allah bukanlah ekspresi emosional semata, melainkan bentuk kesadaran tertinggi manusia atas tujuan penciptaannya.

Ibn ‘Atha’illah berkata: “Akar dari segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah kerelaan manusia terhadap dirinya sendiri, sedangkan akar dari segala ketaatan, kewaspadaan, dan kesucian adalah ketidakridhaan manusia terhadap dirinya.” Ungkapan ini menyingkap hakikat bahwa jalan ma‘rifah selalu melewati lembah introspeksi. Seseorang yang terlalu cepat merasa cukup akan tertutup dari kebutuhan kepada Allah. Sebaliknya, kesadaran atas kelemahan justru membuka pintu kedekatan.

Dari perspektif pendidikan Islam, terutama dalam dunia madrasah, nilai ini memiliki makna strategis. Madrasah bukansekadar institusi transmisi ilmu, melainkan ruang pembentukan kesadaran spiritual yang menumbuhkan kerendahan hati intelektual. Guru dan peserta didik sama-sama dipanggil untuk tidak berhenti pada keberhasilan lahiriah, tetapi menapaki maqam pengenalan terhadap Allah melalui penghayatan nilai-nilai tauhid, kejujuran, dan tanggung jawab moral.

Di Antara Retorika dan Realitas Pendidikan Mencari Cahaya bagi Generasi Emas 2045

Ibn ‘Atha’illah juga menulis: “Salah satu tanda bergantung pada amal adalah berkurangnya harap ketika terjadi kesalahan.” Pesan ini menjadi kritik halus terhadap formalisme keagamaan. Dalam pendidikan madrasah, maknaini relevan sebagai peringatan agar pengamalan agama tidakberhenti pada aspek ritual, tetapi meluas menjadi kesadaran spiritual. Ibadah, ilmu, dan prestasi tidak boleh menjadisarana kesombongan, melainkan jalan untuk menumbuhkan rasa syukur dan ketundukan.

Lebih jauh lagi, Al-Hikam menyatakan: “Janganlah perjalananmu dari makhluk menuju al-Haqq, tetapi perjalananlah dari al-Haqq menuju al-Haqq.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa perjalanan spiritual bukanlah tentang meninggalkan dunia, tetapi menemukan Tuhan di dalam setiap segi kehidupan. Dalam konteks madrasah, prinsip ini dapat diterjemahkan menjadi pendekatan pendidikan yang integratifmengajarkan ilmu umum tanpa melepaskan dimensi ilahiah di dalamnya. Dengan demikian, seluruhaktivitas belajar mengajar menjadi bagian dari ibadah dan zikir kepada Allah.

Dalam pandangan tasawuf sunni, pengenalan kepada Allah adalah proses berlapis: bermula dari pengetahuan (‘ilm), dilanjutkan dengan penyaksian (syuhud), dan berakhir pada penyatuan kehendak (ittihad al-iradah) dengan kehendak Ilahi — bukan dalam makna ontologis, tetapi dalam makna moral dan spiritual. Inilah yang dimaksud dengan perjalanan min al-ghaflah ila al-dzikr, min al-dzikr ila al-syuhud, wa min al-syuhud ila al-ma‘rifah.

Sebagai insan pendidikan, kita diajak untuk memaknai proses ini dalam kehidupan nyata. Setiap kelemahan menjadi pintu introspeksi, setiap kegagalan menjadi sarana pembelajaran, dan setiap keberhasilan menjadi tanda rahmat Allah. Madrasah, dalam hal ini, berperan sebagai ruang suci tempatnilai-nilai itu tumbuh, membentuk generasi yang berilmu, berakhlak, dan berjiwa ma‘rifatullah.

Akhirnya, mengenal Allah bukanlah capaian akhir, melainkan perjalanan yang terus hidup. Ia tidak berhenti pada bacaan kitab, tidak cukup dengan kata, dan tidak selesai dalam ritual. Ia hadir dalam kesadaran mendalam bahwa seluruh kehidupan adalah medan untuk berjumpa dengan-Nya. Siapa pun yang berjalan dengan keikhlasan, baik guru, murid, maupun pemimpin pendidikan, sedang menapaki jalan yang samajalan menuju pengenalan sejati kepada Rabb al-‘Alamin. (Septiano)

Refleksi KH. Puji Raharjo: Air Mata Santri dan Cahaya Pesantren yang Tak Boleh Padam

Berita Populer






× Advertisement
× Advertisement