Literasi Nasional Opini
Beranda / Opini / Refleksi KH. Puji Raharjo: Air Mata Santri dan Cahaya Pesantren yang Tak Boleh Padam

Refleksi KH. Puji Raharjo: Air Mata Santri dan Cahaya Pesantren yang Tak Boleh Padam

KH Puji Raharjo menulis refleksi mendalam “Air Mata Santri dan Cahaya Pesantren”

dutacendikia.id, Lampung – Ada pukulan batin kala langit sore di Sidoarjo yang teduh tersayat kabar duka: bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Siwalanpanji, tiba-tiba runtuh ketika santri sedang menunaikan shalat Ashar. Suara dzikir berubah jadi jeritan, tumpukan bata dan debu meruntuhkan tawa dan cita-cita. Begitulah KH Puji Raharjo, Ketua PWNU Lampung, membuka opininya dalam tulisan “Air Mata Santri dan Cahaya Pesantren”, yang lebih dari sekadar laporan tragedi—melainkan panggilan nurani kita bersama.

Menurut beliau, kehilangan jelas terasa bukan hanya dalam bentuk fisik atau korban, tetapi juga sebagai luka batin yang mendalam. Santri tidak lagi hanya wajah masa depan bangsa; mereka adalah amanah orang tua yang menitipkan harapan dan jiwa untuk dibentuk dalam suasana aman dan penuh kasih sayang. Saat satu pondok roboh, bukan hanya bangunan yang runtuh, tetapi juga rasa tenang hati orang tua yang menitipkan anaknya di pesantren.

Di tengah reruntuhan itu, KH Puji Raharjo mengajak kita melihat pula cahaya kemanusiaan yang menyala. Ia mencatat bagaimana relawan, warga sekitar, dan pihak SAR segera bergerak tanpa pamrih; bagaimana ada tangan-tangan yang menggali dengan tangan kosong, ada yang menenangkan santri kecil yang kehilangan sahabatnya. Ia menyebut bahwa di balik patahan bata dan debu, masih ada cinta yang tumbuh. 

Begitu pula, beliau menegaskan bahwa keselamatan santri tidak boleh dianggap sebagai urusan internal pesantren semata. Peristiwa ambruknya bangunan itu menjadi pengingat bahwa pesantren berhak atas perlindungan dan pengawasan teknis yang sama seperti sekolah pada umumnya. Standar bangunan, pengawasan konstruksi, kesiapan keselamatan, dan regulasi harus diangkat sebagai prioritas nasional—bukan sekadar urusan di lapangan pondok pesantren. 

KH Puji Raharjo juga mengajak kita melihat pemulihan bukan hanya dari sisi fisik, tetapi juga psikologis dan spiritual. Baginya, pendampingan terhadap jiwa santri dan guru yang mengalami trauma adalah bagian tak terpisahkan dalam proses penyembuhan. Sebab, luka batin seringkali lebih lama mengusik daripada lengkungan bangunan yang telah diperbaiki.

Di Antara Retorika dan Realitas Pendidikan Mencari Cahaya bagi Generasi Emas 2045

Tulisan beliau bukan semata-seruan kritik, melainkan seruan kasih dan tanggung jawab kolektif. Di dalamnya terkandung pesan bahwa membangun dengan niat suci harus diiringi kehati-hatian teknis. Bahwa membangun pesantren adalah ibadah, dan memastikan bangunan serta etos pendidikan di dalamnya aman adalah bagian dari ibadah itu pula.

Mari kita titipkan doa bagi para santri yang berpulang, dan mari kita jadikan tekad ini sebagai amal jariyah: bahwa tidak boleh ada lagi pondok yang rapuh, tidak boleh ada lagi santri yang belajar dalam bahaya. Dari reruntuhan Buduran, semoga tumbuh kesadaran baru bahwa menjaga keselamatan santri sama sucinya dengan menjaga ilmu dan iman mereka.

Catatan redaksi: Artikel ini mengutip secara substansial gagasan dan sebagian narasi dari tulisan KH Puji Raharjo yang dimuat di lampung.nu.or.id (5 Oktober 2025). (Septiano)

Berita Populer






× Advertisement
× Advertisement